Palembang – Muhammad Rizky Aditya atau akrab disapa Iki, bocah berusia 11 tahun asal Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) harus bekerja keras untuk menghidupi 3 adiknya yang masih kecil. Seharusnya Iki bisa menikmati main bersama teman seusianya, namun hal itu kandas karena ia harus banting tulang mencari nafkah setiap pulang sekolah.
Tak hanya menanggung hidup 3 adiknya, Iki ternyata juga merawat serta membiayai neneknya yang saat ini tinggal bersamanya. Hal itu diungkapkannya saat ditemui detikSumbagsel, Sabtu sore (4/2/2024).
Saat ini, Iki masih bersekolah duduk di kelas 5 SD. Iki tinggal di rumah kontrakan di jalan DI Panjaitan, Lorong Keramat Gang Bakti, Kecamatan Seberang Ulu 2 Palembang. Dia harus menjadi tulang punggung untuk 3 adik dan neneknya, lantaran sang ayah pergi meninggalkan mereka dua tahun lalu.
Semula, Iki dan 3 adiknya tinggal bersama ibunya, namun pada 14 Januari 2024 lalu sang ibu meninggal dunia usai berjuang melawan penyakit liver dan jantung bocor. Sejak ibu sakit-sakitan, Iki pun mengambil alih mencari uang, untuk makan sehari-hari, bayar kontrakan, biaya sekolah, dan termasuk membeli obat ibunya.
“Iki mulai berjualan sejak kelas 3 SD. Untuk bantu biaya obat ibu dan bayar kontrakan,” kata anak sulung dari 4 bersaudara itu.
“Ibu Iki gak ada lagi (meninggal dunia), kalau ayah sudah kabur sejak Iki masih kelas 3. Iki biasanya mulai jualan dari pulang sekolah jam 12 siang sampai jam setengah 10 malam,” kata dia.
Hasil jualannya setiap hari, kata dia, diberikan ke nenek untuk biaya kehidupan sehari-hari dan bayar kontrakan. Bahkan ia menyisihkan uang untuk jajan adiknya.
Semua perjuangan itu dilakukannya hanya semata-mata ingin adiknya bisa makan sehari-hari dan bersekolah. Dia juga berharap agar adiknya bisa merasakan layaknya seperti anak lain pada umumnya. Tiga adik Iki yakni Aisyilla (5), Dani (3) dan Khalfi (2).
“Iki berharap agar adik-adik Iki bisa sekolah dengan lancar, dan kelak menjadi orang sukses,” ujar Iki.
Dia menjelaskan, makanan ringan yang dijualnya itu adalah produk UMKM dari orang-orang sekitar rumahnya. Dibeli oleh Iki dalam jumlah kiloan, kemudian dikemas kembali menjadi kecil-kecil baru dijual ke masyarakat. Kerupuk dan keripik yang dijual Iki itu seharga Rp 7.000 per bungkus.
Iki mengaku keuntungan dari penjualan kerupuk dan keripik itu dalam per harinya tidak tentu.
“(Keuntungan) lumayan. Kadang jual di kawasan PGRI dan Sentosa,” kata dia.
Di sisi lain, Iki menceritakan pengalaman pahit hidupnya yang ditinggalkan ayah kabur tak diketahui keberadaannya hingga kini. Sang ayah kabur saat ibunya sakit berat. Lalu terakhir, ayahnya datang lagi ketika sang ibu meninggal dunia. Bahkan ayahnya ingin membawa adik perempuannya untuk pergi namun berhasil dicegah neneknya.
“Iki berharap ayah bisa pulang ke rumah. Bisa berkumpul seperti dulu lagi,” pintanya.
Sementara itu, nenek Iki, Sa’adah mengatakan bahwa ia sedih karena melihat Iki banting tulang menghidupi keluarganya itu. Namun hal itu terpaksa Iki lakukan karena keluarga ini tidak memiliki sumber pendapatan lain.
Saat Iki berjualan, neneknya menjaga ketiga adiknya yang masih kecil di rumah.
“Saya sedih karena Iki harus terpaksa jualan padahal kawan seusianya main, dan fokus belajar. Karenanya setiap pulang jualan, saya meminta Iki untuk tetap belajar,” jelasnya.
Namun Sa’adah mengaku, tak peduli berapapun hasil penjualan yang dibawa pulang Iki, asalkan cucunya bisa pulang dengan selamat.
“Saya pesan ke Iki, agar hati-hati kalau jualan. Saya juga selalu mengingatkan kepada Iki pesan dari almarhum ibunya, bahwa Iki tetap harus tabah dan sabar dengan keadaan, dan Iki tetap harus belajar dan bisa sukses nantinya,” jelasnya.