Jumlah Dokter Bedah Jantung Anak RI Hanya 17, Kok Sepi Peminat?

Indonesia rupanya masih sangat kekurangan dokter bedah jantung anak. Dari total 165 dokter bedah torak kardiak dan vaskular (BTKV), hanya 17 yang terjun sebagai bedah jantung anak.

Dokter bedah jantung anak, Pribadi Wiranda Busro mengakui memang terjadi perbedaan yang sangat jauh dari sisi jumlah dokter bedah dibandingkan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah. Khusus dokter bedah jantung anak sangat minim.

“Dokter kardiologinya — spesialis jantung dan pembuluh darah — sudah mulai banyak ya. Tapi karena saya dari bagian bedah, untuk bedah BTKV itu beda dengan kardiovaskular,” kata Wiranda saat sesi wawancara khusus yang diikuti  di Pusat Jantung Nasional RS Harapan Kita Jakarta belum lama ini.

Bacaan Lainnya

“Ada 165 dokter BTKV di seluruh Indonesia. Dari jumlah kan disebar lagi, ada yang bagian bedah jantung dewasa dan sebagainya. Untuk bedah jantung anaknya sendiri ada 17 dokter,” dia menambahkan.

Berkecimpung dalam bedah jantung anak, menurut Wiranda mempunyai tantangan tersendiri. Penanganan kasus penyakit jantung anak yang membutuhkan intervensi bedah termasuk hal yang kompleks.

Pengerjaan bedah jantung anak, terutama penanganan penyakit jantung bawaan pun bukan seperti kasus operasi penyakit lain yang membutuhkan satu kali operasi, melainkan butuh beberapa kali operasi. Inilah alasan tak banyak dokter bedah jantung anak.

“Kalau kasus jantung anak, pertimbangannya juga kan tergantung berat badan anak, ada yang 2 klio, 1,2 kilo, sangat kompleks. Kemudian kadangkala kasusnya itu bukan sekali operasi, tapi dua kali operasi,” ujar Wiranda yang sehari-hari berpraktik di Pusat Jantung Nasional RS Harapan Kita Jakarta.

Terkait kasus penyakit jantung bawaan anak terbagi menjadi dua kategori, yaitu bersifat sianotik dan non sianotik.

“Karena penyakit jantung anak itu secara garis besar ada dua, yaitu yang sifatnya sianotik. Itu yang kelihatan langsung (gejala dan tanda-tandanya). Kedua, ada yang tidak sianotik (non sianotik),” katanya.

“Yang anak itu enggak kelihatan (tandanya), dia mungkin cuma ketika minum ASI sedikit-sedikit atau lekas capek gitu,” Wiranda menekankan.

Secara umum, penyakit jantung bawaan sianotik terjadi saat bayi baru lahir terlihat biru, terutama pada bibir dan kuku yang akan bertambah jika anak menangis atau melakukan aktivitas fisik tertentu.

Pada kasus sianotik ini sebaiknya tindakan operatif atau kateterisasi harus dilakukan pada 1 tahun pertama, setelah organ-organ dalam tubuh bayi dianggap telah mampu untuk menjalani tindakan.

Sementara pada penyakit jantung bawaan non sianotik, tidak ada gejala yang nyata sehingga seringkali tidak disadari dan tidak terdiagnosa baik oleh dokter maupun oleh orangtua. Gejala yang timbul awalnya berupa lelah menyusui atau menyusui sebentar-sebentar.

Namun, untuk kebanyakan kasus PJB non sianotik tindakan operatif atau kateterisasi dapat ditunda sampai usia pasien lebih besar karena dianggap lebih aman untuk dilakukannya operasi dan pembiusan.

Menilik kasus penyakit jantung anak, pelaksanaan bedah membutuhkan tim bedah yang solid. Dalam hal ini, tak hanya peran dari dokter bedah jantung anak saja, melainkan dari sisi diagnosis sampai waktu tepat kapan merujuk dapat menentukan keberhasilan operasi.

“Sehingga ketika kita mau mengerjakan kasus jantung anak itu memerlukan tim yang solid. Tim yang solid itu bukan dokter bedahnya aja, harus ada dokter yang diagnosisnya betul, harus ada waktu yang ngerujuk ya pas,” ujarnya.

“Karena ada kasus yang harus dikerjakan operasi itu dua minggu, enggak boleh lewat dari satu bulan. Kalau lewat dari satu bulan udah terlambat (kondisi pasien menjadi parah atau tidak terselamatkan),” dia menambahkan.

Dari penanganan kasus jantung anak di atas, kata Wiranda, banyak membuat dokter bedah jantung sedikit yang terjung ke jantung anak. Selain itu, penanganan penyakit jantung anak belum ditanggung maksimal oleh BPJS Kesehatan.

Hal berbeda dengan penanganan penyakit jantung koroner pada kasus dewasa, yang mana sepenuhnya dapat ditanggung BPJS Kesehatan.

“Intinya ada variasi kasusnya (jantung anak) banyak sekali sehingga begitu kompleksnya. Jadi, yang terjun sebagai dokter bedah jantung anak itu sangat sedikit lagi,” ujarnya Wiranda.

“Apalagi disampaikan untuk kami di jantung anak, cover (tanggung) asuransi baik swasta maupun BPJS, tidak sebaik kalau dikerjakan pas kita menangani kasus-kasus (jantung) di dewasa,” dia menambahkan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *