Tontonan Hukum Gantung di Batavia
Hukum gantung menjadi tontonan warga di era kolonial Belanda. Selain untuk menghukum penjahat, juga untuk meredam pemberontakan
Jumat, 28 Oktober 2022
Ribuan warga Batavia (kini Jakarta) berbondong-bondong datang menuju kantor Balai Kota (Stadhuis, sekarang Museum Fatahillah/Museum Sejarah Jakarta) suatu pagi pada pertengahan 1896. Tua-muda dan pria-perempuan dari kalangan pribumi, orang Eropa, Tionghoa, Arab, dan Keling berkumpul.
Ribuan warga berdatangan dari segala penjuru arah Kota Batavia sejak pukul 05.00 WIB. Mereka bukan ingin menghadiri upacara atau pesta, melainkan menonton eksekusi mati bagi begundal atau penjahat. Para narapidana kasus kriminal itu biasa dieksekusi dengan cara digantung di tempat tersebut.
Salah seorang yang tertarik dengan pemandangan itu adalah pelancong asal Amsterdam, Belanda, Justus van Maurik, yang sudah beberapa bulan tinggal di Batavia. Malam hari sebelumnya, Maurik diundang ikut pesta dansa oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Carel Herman Aart van der Wijck (Jonkheer) di gedung Societeit de Harmonie. Dalam pesta itu, beberapa teman Eropanya membisiki bakal ada eksekusi hukuman gantung.
Maurik tak menyia-nyiakan momen yang belum pernah dilihat selama hidup di negeri asalnya itu. Pagi buta ia sudah bangun. Ia mandi dan langsung berpakaian rapi. Ia mengintip dari balik jendela Hotel Wisse tempatnya menginap ketika suara bunyi trompet pasukan kavaleri berkuda melintas. Ia bergegas ke luar hotel.
“Mari, Meneer (tuan). Kenakan jas putih sama broek (celana) putih. Zeven uur hangen (pukul tujuh digantung). Meneer harus menyaksikannya, karena di negeri Meneer tidak ada,” ucap Uri, salah seorang pelayan hotelnya, kepada Maurik dalam buku catatannya berjudul Indrukken van een Totok, Indische Type en Scahten (1897).
Keduanya lalu menumpang trem menuju Stadhuis. Dalam hitungan 10 menit, Maurik dan Uri sudah sampai di lokasi. Benar saja, ribuan orang sudah berjejer di sekeliling alun-alun. Persis di depan kantor Balai Kota berdiri panggung dari kayu yang di atasnya sudah terpasang dua kayu dan tali gantungan. Selain itu, berdiri seorang algojo yang memakai penutup kepala dan beberapa opas yang berjaga di sudut-sudut panggung.
Tepat pukul 07.00 WIB, Maurik dan ribuan warga melihat seorang narapidana berpakaian serbaputih dikawal dua algojo berjalan menuju atas panggung. Kakinya tak menggunakan alas. Kedua tangannya diikat tali dan rambut panjang dibiarkan tergerai. Pria pesakitan itu adalah Tjoe Boen Tjiang alias Impeh. Pagi itu, ia akan dieksekusi dengan cara digantung di hadapan ribuan orang.
Tjoe Boen Tjiang divonis hukuman mati oleh Raad van Justitie atau Pengadilan Tinggi karena terbukti merampok dan membunuh secara keji dua perempuan. Proses hukuman mati terhadap dirinya itu juga dimuat di koran De Telegraaf pada 1 September 1896.
Setelah Tjoe Boen Tjiang berada di pinggir panggung, tali ikatan tangannya dilepas. Salah seorang algojo mendekat dan bertanya permintaan terakhirnya. Rupanya Tjoe Boen Tjiang meminta sebatang cerutu sebelum ajalnya tiba. Lalu ia menyalakan dan mengisap cerutu tersebut. Asap mengepul ke udara dari bibirnya.
Awalnya ada yang mengira Tjoe Boen Tjiang akan meminta makanan lezat sebagai menu terakhirnya. Ada juga yang mengira ia akan minta diperbolehkan bercinta dengan seorang pelacur dari Rumah Mawar Betina milik Babah Can. Rupanya tidak. Ia hanya meminta cerutu. Bahkan, ketika jaksa penuntut umum membacakan dakwaan di atas panggung, Tjoe Boen Tjiang tetap asyik mengisap rokok lisongnya dengan asapnya yang bergulung-gulung.
Seusai pembacaan vonis, seorang pembantu algojo mengambil paksa cerutu yang tengah diisap Tjoe Boen Tjiang. Kali ini wajahnya berubah mulai ketakutan. Ia sempat meminta cerutunya, tapi ditolak algojo. Tangan Tjoe Boen Tjiang kembali diikat dan ia diseret menuju tiang gantungan. Jaksa memintanya mengakui perbuatannya.
Dengan berusaha tenang, tegar, dan rasa tidak takut, Tjoe Boen Tjiang dengan lantang mengatakan pengakuannya. “Perbuatan yang saya lakukan tak ada yang membenarkan, baik manusia maupun para dewa. Saya telah membunuh dua orang perempuan hanya gara-gara suami dan ayah kedua perempuan itu tak mau memberi saya sebatang cerutu. Saya menyesal dengan lapang dada. Saya siap menerima kematian sebagai hukuman yang setimpal untuk perbuatan saya,” ucapnya dengan lantang.
Genderang pun ditabuh. Saat itu juga pintu yang diinjak kaki Tjoe Boen Tjiang terbuka. Ia terjerembap ke bawah dengan leher terikat tali. Di bawahnya dua algojo menarik kakinya ke bawah. Tjoe pun kemudian mati di tiang gantungan.
Seluruh penonton yang awalnya riuh seketika senyap. Banyak yang menundukkan kepala karena tak tahan melihat hukuman gantung yang mengerikan tersebut. Setelah dinyatakan tewas, Tjoe diangkut dengan kereta kuda untuk dikuburkan.
Setelah itu, warga satu per satu membubarkan diri dengan membawa kenangan dan ingatan sendiri tentang eksekusi hukuman gantung itu. “Meneer, matahari mulai terik. Mari kita kembali ke Wisse,” pinta Uri kepada Maurik, yang kala itu syok melihat langsung prosesi hukuman mati.
Kala itu eksekusi di Batavia atau wilayah lainnya di Hindia Belanda menjadi tontonan masyarakat. Bagi penguasa Hindia Belanda, selain mengganjar para penjahat, hukuman mati menjadi strategi untuk meredam pemberontakan. Karena itu, masyarakat diwajibkan menonton hukuman mati.
Sejarawan Alwi Shahab dalam buku Batavia Kota Hantu (2010) menjelaskan kompeni biasanya mengundang warga Batavia untuk menonton eksekusi mati. Sehari sebelum eksekusi, pejabat pengadilan berkeliling kampung-kampung untuk menyuruh warga datang ke lapangan Balai Kota.
Sementara itu, dari catatan Arsip Nasional RI disebutkan tingkat kejahatan di wilayah Batavia pada abad ke-17 hingga abad ke-19 terbilang tinggi. Kasus pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, penyerangan, pertempuran antarserdadu, dan tawuran. Hukuman mati menjadi solusi agar para penjahat jera. Eksekusi dengan cara digantung terakhir kali dilakukan terhadap Tjeo Boen Tjiang. Setelah itu, hukuman gantung dilarang.
Hukuman mati harus mendapat persetujuan Pemerintah Agung (Hoge Regering VOC) dan kemudian setiap bulan ditulis dalam Catatan Harian Kastel Batavia (Dagh Registers van Castel Batavia). Ada dua tempat hukuman mati di Batavia, yaitu di Kastel Batavia dan Stadhuis (Balai Kota). Kala itu, bentuk hukuman mati bisa dengan cara dipancung, digantung, atau badan ditarik hingga terbelah.
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho