JAKARTA, KOMPAS.com – Sosok Dendis Al Latif (13) salah satu korban robohnya tembok MTsN 19 Pondok Labu akibat banjir yang terjadi pada Kamis (6/10/2022) kemarin, masih terkenang manis di ingatan sahabat-sahabatnya.
Iqbal, Hayzkil, dan Abesta, telah bersahabat dengan Dendis setahun belakangan sejak duduk bersama di bangku kelas 7.
“Kita tuh temanan pas kelas 7. Semua anak cowok di kelas itu temenan. Tapi sekarang Dendis beda kelas, tapi masih suka main kalau istirahat,” kata Iqbal selagi menengok Dendis untuk terakhir kali di rumah duka, Jumat (7/10/2022).
Hayzkil mengenang hari-hari bersama Dendis yang selalu diisi tawa dengan setiap banyolannya.
“Kita di kelas setiap hari ketawa. Ketawanya dia nular,” kenang Hayzkil.
Ketiganya mengaku akan sangat kehilangan sosok Dendis. Pasalnya, bagi mereka, Dendis merupakan nyawa dari kemeriahan perkumpulan mereka.
“Bakal kehilangan banget. Dia itu orang yang ceria, yang ramai. Orang yang ngeramaikan tongkrongan, pokoknya kalau enggak ada dia pasti sepi. Dia tuh cepat banget akrab sama orang lain. Yang temen barunya aja saya yakin kehilangan banget,” kata ketiganya bersahut-sahutan.
Sosok Dendis sangat sulit terlepas dari ingatan mereka, terlebih mereka bertiga juga tanpa sengaja melihat peristiwa yang merenggut nyawa sahabatnya itu.
Bahkan, beberapa jam sebelum peristiwa terjadi, mereka sempat bermain voli bersama di sekolah.
Saat banjir merangsak masuk ke halaman sekolah secara tiba-tiba dan dengan debit yang besar, tembok di latar panggung outdoor tiba-tiba rubuh.
Hayzkil menyaksikan peristiwa itu dari lantai dua sekolahnya.
Sementara Iqbal yang saat itu sedang mencuci mukanya tidak jauh dari panggung, segera berlari ke arah panggung melawan arus air yang kuat.
Di sana, ia melihat dua sosok yang tertimpa tembok, salah satunya Dendis.
“Saya awalnya enggak lihat Dendis karena enggak pakai kacamata, setelahnya baru sadar ternyata di sana ada sahabat saya,” kenang Iqbal sembari menahan tangis.
Iqbal pun dengan segera berusaha menolong teman-temannya dengan mengangkat tembok yang runtuh, tetapi tidak berhasil.
Di kejauhan ia melihat beberapa orang yang menuju ke panggung, salah satunya Abesta.
Beberapa orang berhasil mencapai panggung dengan melawan arus dan menginjak puing-puing sembari bergandengan tangan.
Namun, Abesta gagal mencapai panggung lantaran terlalu banyak puing di hadapannya.
“Jadi di bawah air itu banyak puing, kayu-kayu dan paku. Saya mau maju agak susah. Dan arusnya dari arah belakang panggung itu kuat,” ungkap Abesta.
Ketiganya pun berharap, sahabat mereka, Dendis, dapat terus tertawa meski tidak lagi bersama mereka.
“Selain itu, semoga Dendis husnul khotimah, orangtuanya semoga diberi ketabahan, kita juga semoga ikhlas,” harap mereka sebelum turut menyolatkan jenazah Dendis.