JAKARTA, KOMPAS.com – Sejumlah pembelaan disampaikan pihak kepolisian terkait penggunaan gas air mata dalam tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022).
Polisi mengeklaim, penggunaan gas air mata dalam skala tinggi tidak mematikan. Bahkan, menurut polisi, gas air mata bukan penyebab jatuhnya 131 korban jiwa dalam tragedi tersebut.
Namun demikian, oleh Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sederet pembelaan itu langsung dimentahkan.
Tidak mematikan
Menurut polisi, gas air mata tidak mematikan sekalipun digunakan dalam skala tinggi.
Polisi mengeklaim, ini merujuk pada keterangan sejumlah ahli, seperti ahli kimia dan persenjataan sekaligus dosen di Universitas Indonesia dan Universitas Pertahanan, Mas Ayu Elita Hafizah, serta Guru Besar Universitas Udayana sekaligus ahli bidang Oksiologi atau Racun Made Agus Gelgel Wirasuta.
“Beliau (Made Agus Gelgel) menyebutkan bahwa termasuk dari doktor Mas Ayu Elita bahwa gas air mata atau cs ini ya dalam skala tinggi pun tidak mematikan,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, Senin (10/10/2022).
Dedi menjelaskan, ada 3 jenis gas air mata yang digunakan saat tragedi Kanjuruhan. Pertama, gas air mata asap putih atau smoke.
Kemudian, gas air mata yang bersifat sedang yang digunakan untuk mengurai klaster dari jumlah kecil. Lalu, gas air mata dalam tabung merah untuk mengurai massa dalam jumlah yang cukup besar.
Dedi menyebutkan, tidak ada toksin atau racun dalam gas air mata yang bisa mengakibatkan seseorang meninggal dunia.
Menurutnya, gas air mata memang bisa menyebabkan mata mengalami iritasi seperti ketika terkena sabun. Namun, itu hanya terjadi beberapa saat dan tidak mengakibatkan kerusakan yang fatal.
“Semua tingkatan ini saya sekali lagi saya bukan expert (ahli), saya hanya bisa mengutip para pakar menyampaikan ya cs atau gas air mata dalam tingkatannya tertinggi pun tidak mematikan,” ujarnya.
Bukan penyebab kematian
Dedi juga mengeklaim, berdasarkan penjelasan para ahli dan dokter spesialis, gas air mata bukan menjadi penyebab kematian para korban di Stadion Kanjuruhan.
Menurutnya, penyebab utama jatuhnya ratusan korban adalah karena berdesakan dan kekurangan oksigen.
“Dari penjelasan para ahli dan dokter spesialis yang menangani para korban, baik korban yang meninggal dunia maupun korban yang luka, dari dokter spesialis penyakita dalam, penyakit paru, penyakit THT, dan juga spesialis penyakit mata, tidak satu pun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen,” kata Dedi.
Dedi mengatakan, saat itu di stadion banyak orang berdesak-desakan hendak keluar. Inilah yang menyebabkan banyak orang kekurangan oksigen hingga akhirnya tewas.
“Terjadi berdesak-desakan terinjak-injak, bertumpuk-tumpukan mengakibatkan kekurangan oksigen di pada pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini yang jadi korbannya cukup banyak,” ujarnya.
Gas air mata kedaluwarsa
Polisi pun mengakui bahwa terdapat sejumlah gas air mata kedaluwarsa yang ditembakkan dalam tragedi tersebut. Namun, polisi menyebut, tidak semua gas air mata dalam kondisi kedaluwarsa.
“Ya ada beberapa yang diketemukan (kedaluwarsa) ya yang tahun 2021, ada beberapa ya,” kata Dedi.
Dedi mengatakan, pihaknya belum tahu detail jumlah gas air mata yang kedaluwarsa. Perihal tersebut saat ini masih didalami oleh laboratorium forensik.
Dia berdalih, gas air mata yang kedaluwarsa sedianya sudah tidak begitu efektif. Sebab, zat kimia di dalam gas tersebut telah menurun kadarnya.
“Ketika tidak diledakkan di atas maka akan timbul partikel lebih kecil lagi daripada bedak yang dihirup, kemudian kena mata mengakibatkan perih. Jadi kalau sudah expired (kedaluwarsa) justru kadarnya berkurang, kemudian kemampuannya akan menurun,” klaim Dedi.
Dimentahkan Komnas HAM
Keterangan polisi itu dimentahkan oleh Komnas HAM. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, tembakan gas air mata menjadi pemicu utama kerusuhan di Stadion Kanjuruhan.
Temuan ini didapat setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan dan pemeriksaan langsung ke lokasi dan memeriksa saksi yang selamat dari peristiwa mematikan tersebut.
“Dinamika di lapangan itu pemicu utama adalah memang gas air mata yang menimbulkan kepanikan,” kata Anam dalam keterangannya, Senin (10/10/2022).
Anam mengatakan, tembakan gas air mata itu menciptakan kepanikan di kerumunan penonton yang berada di tribun. Akibatnya, penonton berebut untuk keluar dari stadion melalui pintu keluar yang sempit.
“Berdesak-desakan dengan mata yang sakit, dada yang sesak, susah napas dan sebagainya,” ujar dia.
Komnas HAM juga mengaku telah mengantongi informasi soal penggunaan gas air mata yang kedaluwarsa. Perihal itu, saat ini masih akan terus didalami.
Dibantah TGIPF
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan juga membantah pernyataan Polri soal gas air mata yang tidak mematikan.
Anggota TGIPF Rhenald Kasali mengatakan, tembakkan gas air mata oleh personel Polri dalam tragedi tersebut bersifat mematikan.
Padahal, kata Rhenald, seharusnya polisi cukup menggunakan gas air mata yang kapasitasnya untuk meredam agresivitas massa. Namun, yang terjadi dalam peristiwa Kanjuruhan tidak demikian.
“Jadi (gas air mata) bukan senjata untuk mematikan, tapi senjata untuk melumpuhkan supaya tidak menimbulkan agresivitas. Yang terjadi (di Kanjuruhan) adalah justru mematikan. Jadi ini tentu harus diperbaiki,” kata Rhenald saat ditemui di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (10/10/2022).
Rhenald mengatakan, korban yang terkena gas air mata awalnya memang tidak merasakan apa-apa. Namun, sehari berikutnya, mata mereka menghitam dan memerah.
Berdasarkan keterangan dokter, perlu waktu kurang lebih satu bulan bagi korban untuk memulihkan mata mereka.
Menurut Rhenald, polisi telah melakukan penyimpangan dan pelanggaran terkait ini, apalagi sejumlah gas air mata ternyata kedaluwarsa.
Dia menyebutkan, posisi kepolisian di Indonesia bukanlah polisi yang berbasis militer, tetapi kepolisian sipil. Oleh karenanya, seluruh kinerja Polri seharusnya berdasar pada HAM.
“Karena gas air mata itu, ingat ini adalah kalau kepolisian itu adalah sekarang ini bukan military police, bukan polisi yang berbasis militer, tapi ini adalah civilian police. Nah, maka polisi itu ditangankanani oleh kitab HAM,” kata Rhenald.
Lebih lanjut, TGIPF telah membawa sejumlah longsongan gas air mata yang kedaluwarsa untuk diperiksa di laboratorium.
“Salah satu kecurigaan kami adalah kadaluwarsa dan itu sudah dibawa ke lab semuanya diperiksa,” katanya.