Jakarta – Di tengah maraknya isu krisis populasi yang kini menerpa Jepang, sebuah kota di pegunungan dan hutan bernama Nagi rupanya sukses mendorong warganya untuk mau berkeluarga dan memiliki anak. Berbeda dari kota-kota lainnya, sore di kota Nagi masih diramaikan hiruk pikuk anak-anak yang pulang sekolah.
Dikutip dari The Guardian, tingkat kesuburan di Nagi meningkat lebih dari dua kali lipat dari 1,4 menjadi 2,95 pada 2019, turun sedikit menjadi 2,68 pada tahun 2021. Namun, angka tersebut masih lebih dari dua kali lipat rata-rata nasional sebesar 1,3.
Di tengah peringatan dari Perdana Menteri Fumio Kishida, bahwa angka kelahiran yang menurun di Jepang mengancam kemampuannya untuk berfungsi sebagai masyarakat, 5.700 penduduk kota mungkin telah menemukan jawabannya.
Berkat kondisi tersebut, Nagi kini dijuluki sebagai ‘kota ajaib’. Sa;aj seorang warga berusia 28 tahun menceritakan, dirinya merasa senang ketika mendengar suara anak-anak. Kini, ia dan suaminya hidup dengan tiga anak dan sedang menginginkan anak keempat.
Mereka bukan satu-satunya keluarga dengan banyak anak di Nagi. Menurut statistik kota, 47 persen rumah tangga Nagi memiliki tiga anak atau lebih.
“Di kota-kota Jepang, anak-anak dianggap berisik dan mengganggu, itulah sebabnya Anda dilarang bermain sepak bola dan bisbol di taman umum,” kata Matsushita, dikutip dari The Guardian, Selasa (30/5/2023).
“Tapi di sini, kami menyukai suara anak-anak,” imbuhnya.
Di Nagi, anak-anak menerima perawatan kesehatan gratis hingga usia 18 tahun, keluarga pun tidak perlu membayar satu yen pun untuk buku pelajaran sekolah sampai mereka menyelesaikan pendidikan wajib pada usia 15 tahun. Selain itu, makanan sekolah disubsidi, dan remaja yang duduk di bangku SMA di luar kota hanya membayar sebagian kecil tarif bus.
Juga dalam upaya membantu keluarga muda, kota ini menawarkan rumah berisi tiga kamar tidur dengan harga sewa bulanan yang relatif rendah yaitu ¥50.000 atau setara sekitar Rp 500 ribu.
Warga Nagi lainnya, Yugo Sugawara, hidup dengan seorang anak perempuan berusia satu tahun dan kini tengah mengandung anak kedua. Ia merasa, uang tunai yang diberikan pemerintah sebenarnya hanyalah sebagian kecil dari daya tarik Nagi.
“Ini bukan tentang uang,” katanya.
“Kami ingin putri kami memiliki adik laki-laki dan perempuan. Akan sangat memalukan jika dia dibesarkan sebagai anak tunggal. Dan ketika Anda melihat-lihat dan melihat keluarga dengan tiga atau bahkan empat anak, Anda berpikir, kami juga bisa melakukannya.” pungkas Sugawara.