JAKARTA, KOMPAS.com – Blok Politik Pelajar membuat petisi yang mendesak pemerintah tidak lagi mengizinkan penggunaan gas air mata dalam pengendalian massa. Hal itu buntut dari tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober 2022.
Dalam tragedi terbesar kedua sepanjang sejarah olahraga modern di dunia itu, sedikitnya 131 orang tewas karena terinjak hingga sesak napas diduga akibat tembakan gas air mata polisi.
“Kami Blok Politik Pelajar yang merupakan wadah perkumpulan anak muda yang bergerak di bidang demokrasi dan hak asasi manusia, bersama-sama dengan publik menuntut kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Direktur Utama PT Pindad untuk tidak memproduksi, memperjualbelikan dan menggunakan gas air mata,” tulis mereka dalam petisi yang diunggah ke laman Change.org.
“Apalagi, diperuntukkan sebagai senjata penanganan massa,” bunyi petisi itu lagi.
Hingga berita ini disusun pada Jumat (7/10/2022) pukul 11.45 WIB, tercatat petisi ini sudah ditandatangani 52.841 orang dari target 75.000 tanda tangan.
Blok Politik Pelajar mengkritik Polri yang kerap berdalih bahwa gas air mata telah digunakan secara terukur untuk mengendalikan massa, walaupun fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.
“Penggunaannya acapkali tidak pada tempat dan waktunya, cenderung serampangan,” tulis mereka.
“Contohnya, tiga balita yang jadi korban gas air mata ketika polisi berupaya membubarkan demonstrasi mahasiswa di depan Kampus I Universitas Khairun, Ternate, April 2022 lalu. Kemudian, demonstran di Jawa Timur yang terkena proyektil gas air mata pada demonstrasi tahun 2020 lalu. Terbaru, penggunaan gas air mata di stadion Kanjuruhan, Malang,” jelas Blok Politik Pelajar dalam petisinya.
Dalam petisi itu, mereka juga mengutip riset dari Universitas Toronto yang menyarankan pemerintah setempat menghentikan pemakaian gas air mata karena dapat merusak fungsi organ.
Terakhir, Blok Politik Pelajar berharap agar gas air mata bukan hanya tak digunakan dalam pertandingan-pertandingan olahraga, melainkan juga dalam penanganan massa aksi unjuk rasa.
“Kebebasan berpendapat perlu dijamin tanpa perlu memakai gas air mata,” tulis mereka.
Kemudian, mereka memberikan sejumlah hasil investigasi dari tragedi Kanjuruhan untuk memperkuat argumen perihal pelarangan penggunaan gas air mata.
Dituliskan bahwa berdasarkan investigasi The Washington Post, polisi diduga menembakkan 40 kali gas air mata, utamanya ke arah selatan Stadion Kanjuruhan dalam tragedi maut itu.
Sementara itu, regulasi FIFA telah melarang sepenuhnya penggunaan gas air mata untuk pengendalian massa.
Temuan awal Komnas HAM dari penyelidikan Tragedi Kanjuruhan juga menguatkan hal yang sama.
Komisioner bidang penyelidikan dan pemantauan Komnas HAM, Choirul Anam, menemukan bahwa para jenazah menunjukkan profil seragam, yakni wajahnya membiru sampai mulutnya berbusa.
Hal ini mengindikasikan bahwa para korban tewas akibat kekurangan oksigen dan menghirup gas air mata.